Kota Pati tentu identik dan lekat dengan nasi gandul, masakan khas
dari kota Pantura ini. Sebenarnya, tak hanya nasi gandul yang melegenda
dari kota asal Si Roro Mendut ini. Ada soto kemiri (asalnya dari Desa
Kemiri) dan gethuk runting (asalnya dari Desa Runting). Namun, yang
paling kesohor yah memang nasi gandul ini. Nasi ini berdiaspora hingga
ke Yogyakarta dan Jakarta. Menu ini direkomendasikan Bondan Winarno,
wartawan kuliner tenar.
Oh yah. Kalau hendak berburu nasi gandul genuine, silakan menelisik
Desa Gajahmati, yang terletak di sebelah selatan Terminal Bus Pati.
Adalah Almarhum Pak Melet, yang hingga kini dipercaya sebagai orang yang
memopulerkan nasi gandul ini. Memang, Pak Melet sendiri bukanlah
pedagang pertama nasi gandul. Awalnya, di tahun 1950-1960-an, para
penjaja nasi gandul berjalan kaki sambil menggotong pikulan yang berisi
kendil (kuali) kuah gandul di satu sisi, dan bakul nasi di sisi lainnya.
Lambat laun, para pedagang lebih memilih menetap dengan membuka sebuah
warung atau memanfaatkan ruang depan rumahnya untuk berjualan.
Nah, pola jualan yang sebelumnya ideran (mengedarkan dengan jalan
kaki berkeliling) dan berubah menjadi buka warung ini, nampaknya
sebangun juga dengan sejarah warung bubur kacang ijo (burjo). Burjo kini
menjadi santapan wajib para pelajar dan mahasiswa yang hidup di rantau
dengan ngekos atau menjadi kontraktor –maksudnya masih tinggal di rumah
kontrakan, hehehe… Jika burjo terkenal di kota-kota pelajar seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta, dan lain-lain, nah hanya
nasi gandul yang mengecambah di Pati.
Mungkin menarik jika kita bisa menelus seluk-beluk dan perkembangan
masakan khas lainnya. Dan bukan mustahil, bisa kita tuangkan ke dalam
tulisan tersendiri. Kembali ke nasi gandul. Karena awalnya digotong
dengan pikulan itulah, dia disebut nasi gandul. Gandul sendiri artinya
menggantung. Pikulan itu naik-turun seiring dengan langkah si penjaja.
Kini hampir tidak kita jumpai penjaja nasi gandul yang ideran. Mereka
lebih memilih jualan stationaire di warungnya. Tapi, uniknya, pikulan
tersebut tetap dipakai di depan meja utama. Kayak apa sih nasi gandul
itu? Nasi ini, sekilas seperti rawon. Kuahnya coklat kemerahan. Gandul
asli yang dijajakan di Pati disajikan di atas piring bulat. Di atas
piring terdapat sebuah potongan daun pisang sebagai alas. Jenis
pisangnya adalah pisang kluthuk (pisang biji). Hal ini agar memberikan
aroma nan segar terhadap kuah. Di dalam kuahnya terdapat thethelan
(potongan) daging dan gajih (lemak) sapi. Jangan kuatir! Saat ini, para
pedagang nasi gandul memodifikasi kuah nan bersantan ini hanya dengan
daging, zonder lemak. Jadi, nasi gandul nampaknya tetap aman dinikmati
oleh pengidap kolesterol.
Setelah nasi putih diguyur kuah beserta beberapa potong thethelan,
rasanya kok ada yang kurang. Nah, Anda bisa menambahkan lauk. Uniknya,
lauk ini berasal dari semua organ sapi. Ada otak, lidah, daging, paru,
jantung, usus, babat buku, babat handuk, babat jala, kikil, kulit, dan
lain sebagainya. Jika Anda sedang menghindari makanan hewani, nah, ini
dia! Silakan lengkapi nasi gandul dengan sebuah perkedel atau tempe
goreng. Tempe goreng ini unik. Si tempe begitu garing dan krispi sewaktu
digigit. Ternyata, rahasianya, tempe direbus dulu dengan santan sebelum
digoreng. Tentu ini agak berbeda dengan nasi gandul yang dijual di kota
lain. Meski si empu warung (setidaknya mengaku) dari Pati, nasi
gandulnya sudah disesuaikan sana-sini. Misalnya, di Jakarta, lauknya
sudah terpotong-potong ke dalam kuah. Kita tak perlu memesan lauk yang
tersendiri. Pernah saya menikmati nasi gandul di Yogyakarta. Potongan
lauknya lebih kecil. Dalam seporsi, kita bisa memilih dua jenis lauk
itu. Bisa daging (empal) dan usus, empal-kikil, dan lain-lain. Apapun
modifikasinya, baik Pati asli maupun sesuaian, tetap nikmat kok.
Nah, karena nasi gandul ini disajikan dengan alas piring daun pisang,
kuah dan nasi tak menyentuh dasar piring atau seakan menggantung.
Karena itulah, nasi ini disebut nasi gandul. Versi ini sekaligus
melengkapi versi pertama. Argumentasinya, jika nasi gandul diedarkan
dengan pikulan, burjo dulunya juga dipikul. Minuman dawet, yang sudah
ada sejak zaman sebelum Kerajaan Demak, pun dipikul. Nasi soto dulunya
juga dijual dengan dipikul. Kenapa hanya nasi ini yang disebut nasi
gandul? Jenis makanan lainnya, yang dijual ideran dengan pikulan kok
tidak dinamakan gandul? Dus, sendoknya terbuat dari daun pisang juga.
Namanya suru. Sebagian ada yang bilang nyuru, nyiru. Bagi yang belum
terbiasa memakai sendok daun pisang, tak usah kuatir. Setiap warung kini
menyediakan sendok logam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar